Sabtu, 19 November 2011

MK. EKOLOGI PERAIRAN ANGK.2011 (Ir. Arif Tribina)

Rantai Energi di Laut
Pada ekosistem perairan alami, siklus produksi dimulai oleh produser. Produser
adalah organisme autotrop yang mampu mensintesa bahan organik yang berasal dari
bahan anorganik melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Produser
utama pada ekosistem perairan adalah fitoplankton. Fitoplankton adalah tumbuhan renik
yang memiliki produktivitas tinggi dan menempati dasar dari suatu piramida makanan di
laut.
Sebagai organisme autotrop, fitoplankton berperan sebagai produser primer yang
mampu mentransfer energi cahaya menjadi energi kimia berupa bahan organik pada
selnya yang dapat dimanfaatkan oleh organisme lain pada tingkat tropis diatasnya.
Fitoplankton merupakan produser terbesar pada ekosistem laut. Pada ekosistem akuatik
sebagian besar produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton (Parsons dkk, 1984).
Steeman-Nielsen (1975) menyatakan bahwa kurang lebih 95% produksi primer di laut
berasal dari fitoplankton.
Pada tahapan awal aliran energi, cahaya matahari “ditangkap” oleh tumbuhan
hijau yang merupakan produser primer bagi ekosistem perairan. Energi yang ditangkap
digunakan untuk melakukan proses fotosintesis dengan memanfaatkan nutrien yang ada
di lingkungannya. Melalui pigmen-pigmen yang ada fitoplankton melakukan proses
fotosintesis. Pigmen-pigmen ini memiliki kemampuan yang berbeda dalam melakukan
penyerapan energi cahaya matahari. Proses fotosintesis hanya dapat berlangsung bila
pigmen fotosintesis menerima intensitas cahaya tertentu yang memenuhi syarat untuk
terjadinya proses tersebut. Govindjee dan Braun (1974) menyatakan bahwa aksi pertama
 pada proses fotosintesis adalah mengabsorpsi cahaya. Tidak semua radiasi
elektromagnetik yang jatuh pada tumbuhan yang berfotosintesis dapat diserap, tetapi
hanya cahaya tampak (visible light) yang memilki panjang gelombang berkisar antara
400 sampai 720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk fotosintesis.
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan peningkatan intensitas cahaya
sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai tersebut cahaya
merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan di bawah nilai
optimum merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman di mana cahaya
tidak dapat menembus lagi (Cushing, 1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson dkk.,
1984; Neale, 1987).
Sebagai produser primer, fitoplankton memduduki tingkatan terbawah pada
piramida makanan  , artinya fitoplanktonlah yang mendukung seluruh
kehidupan di laut. Dengan kata lain fitoplankton menduduki tropik level paling randah
dan berperan mentransfer energi matahari dan mendistribusikan energi tersebut pada
organisme laut melaui rantai makanan. Apabila dilihat bentuk piramida makanan maka
bisa diartikan bahwa semakin ke atas ukuran individu bertambah sedangkan jumlah
individu menurun. Sebaliknya jumlah fitoplankton jauh lebih besar dibanding
zooplankton dan ikan tetapi ukurannya jauh lebih kecil.
Bahan organik hasil proses fotosintesis dapat dimanfaatkan oleh zooplankton
yang menduduki tropic level kedua pada piramida makanan. Pada tingkat tropik ini
zooplankton berperan sebagai organisme herbivora atau konsumer primer. Sebagian besar
zooplankton memakan fitoplankton atau detritus dan memiliki peran penting dalam rantai
makanan pada ekosistem perairan. Beberapa spesies memperoleh makanan melalui
 
uptake langsung dari bahan organik yang terlarut. Zooplankton pada dasarnya
mengumpulkan makanan melalui mekanisme filter feeding atau raptorial feeding.
Zooplankton filter feeder menyaring seluruh makanan yang melewati ’mulutnya’
sedangkan pada raptorial feeder sebagian makanannya dikeluarkan kembali.
Di laut terjadi transfer energi antar organisme pada tingkatan tropis yang berbeda
dengan demikian terjadi proses produksi. Hirarki proses produksi membentuk sebuah
rantai yang dikenal dengan rantai makanan. Ada dua kelompok rantai makanan yang ada
di ekosistem laut yaitu rantai makanan grazing (grazing food chain) dan rantai makanan
detrital (detritus food chain). Kedua jenis rantai makanan tersebut saling melengkapi dan
membentuk sebuah siklus yang kontinus. Rantai makanan grazing dimulai dari proses
transfer makanan pertama kali oleh organisme herbivora melalui proses grazing.
Makanan pertama itu berupa fitoplankton dan herbivor yang memanfatkan fitoplankton
adalah zooplankton. Mata rantai pertama pada rantai makanan ini adalah fitoplankton
yang merupakan sumber pertama bagi seluruh kehidupan di laut. Ujung dari rantai
makanan ini adalah konsumer tingkat tinggi (seperti ikan dan konsumer lainnya) yang
apabila mengalami kematian akan menjadi detritus pada ekosistem laut. Detritus inilah
Tingkat Tropik 1
Tingkat Tropik 2
Tingkat Tropik 3
Konsumer Primer
Konsumer Sekunder
Produser Primer
 yang menjadi awal pembentukan rantai makanan detrital yang banyak dilakukan oleh
organisme pengurai atau dekomposer.
Hasil dari proses dekomposisi yang dilakukan dekomposer adalah terbentuknya
bahan anorganik maupun organik. Bahan anorganik akan dimanfaatkan oleh organisme
autotrop seperti fitoplankton sedangkan bahan organik dapat dimanfaatkan langsung oleh
beberapa organisme pemakan detritus (detritus feeder).
Pada tiap tingkat tropik ada produksi. Pada tingkat tropik terbawah dimana terjadi
proses fotosintesis oleh organisme autotrop di hasilkan produksi primer. Sedangkan
seluruh produksi pada tingkat konsumer merupkan produksi sekunder (Odum, 1983).
Odum (1983), mendefinisikan produktivitas primer suatu sistem ekologi sebagai
laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas fotosintesis dari produser atau
organisme (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan
sebagai bahan pakan. Untuk menghasilkan produksi primer, produser melakukan
fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari yang ditangkap oleh pigmen-pigmen
fotosintesis.
Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman.
Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan hijau adalah sbb:
6CO2+ 6 H2O C6H12O6+ 6 O2
Persamaan ini menunjukkan bahwa proses tersebut adalah sebuah reaksi reduksi-oksidasi.
CO2 direduksi dan H2O dioksidasi (Forti, 1969; Valiela , 1984).
Produktivitas primer akan menentukan jumlah produktivitas sekunder. Apabila
produksi sekunder adalah produksi yang dihasilkan pada tingkat konsumer, maka
produktivitas sekunder sebenarnya meliputi banyak organisme pada tingkat konsumer
 seperti herbivora dan karnivora. Akan tetapi biasanya produktivitas sekunder dihitung
berdasarkan produksi konsumer primer dalam hal ini zooplankton. Produksi dari populasi
hewan mengacu pada pembentukan biomassa baru dalam periode waktu tertentu. Ada
dua pendekatan yang telah diterapkan dalam studi produksi yaitu metode dinamika
populasi dan metode pengaturan energi (energy budget). Pendekatan dinamika populasi
terkonsentrasi pada pertumbuhan biomassa sedangkan pendekatan energy budget
mengukur komponen-komponen konsumsi, respirasi dan ekresi.
 
Sumber SUNARTO UNPAD 2008

MK, PLANKTONOLOGI ANGK.2011 (Ir. Arif Tribina)

Produktivitas Plankton
Pada tiap tingkat tropik ada produksi. Pada tingkat tropik terbawah
dimana terjadi proses fotosintesis oleh organisme autotrop di hasilkan produksi
primer. Sedangkan seluruh produksi pada tingkat konsumer merupkan produksi
sekunder (Odum, 1983).
Odum (1983), mendefinisikan produktivitas primer suatu sistem ekologi
sebagai laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas fotosintesis dari
produser atau organisme (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk bahan
organik yang dapat digunakan sebagai bahan pakan. Untuk menghasilkan
produksi primer, produser melakukan fotosintesis dengan bantuan cahaya
matahari yang ditangkap oleh pigmen-pigmen fotosintesis.
 Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi
tanaman. Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan
hijau adalah sbb:
6CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2
Persamaan ini menunjukkan bahwa proses tersebut adalah sebuah reaksi
reduksi-oksidasi. CO2 direduksi dan H2O dioksidasi (Forti, 1969; Valiela ,
1984).
Apabila produksi sekunder adalah produksi yang dihasilkan pada tingkat
konsumer, maka produktivitas sekunder sebenarnya meliputi banyak organisme
pada tingkat konsumer seperti herbivora dan karnivora. Akan tetapi biasanya
produktivitas sekunder dihitung berdasarkan produksi konsumer primer dalam
hal ini zooplankton. Produksi dari populasi hewan mengacu pada pembentukan
biomassa baru dalam periode waktu tertentu. Ada dua pendekatan yang telah
diterapkan dalam studi produksi yaitu metode dinamika populasi dan metode
pengaturan energi (energy budget). Pendekatan dinamika populasi
terkonsentrasi pada pertumbuhan biomassa sedangkan pendekatan energy
budget mengukur komponen-komponen konsumsi, respirasi dan ekresi.
Ada permasalahan dalam menentukan produktivitas sekunder antara lain,
perbedaan ukuran pada tiap individu menyebabkan jumlah individu/satuan
volume berbeda antara satu jenis dengan jenis yang lain atau dalam jenis yang
sama pada tahap siklus hidup yang berbeda. Sebagai contoh pada jenis
calanus yang siklus hidupnya melewati 6 fase nauplii dan 6 fase kopepodite
 dengan masing-masing berbeda ukuran maka jumlah individu per satuan
volume dari tiap fase akan berbeda. Oleh karena itu diperlukan ada perbedaan
dalam penghitungan untuk masing masing jenis zooplankton (Lewis,Jr. 1985)
 
PERANAN PLANKTON DALAM EKOSISTEM LAUT
Pada ekosistem laut setidaknya ada tiga komponen organisme yang hidup
dildalamnya bila diklasifikasikan berdasarkan kemampuan pergerakannya yaitu
organisme planktonik, organisme nektonik dan organisme bentik. Organisme
planktonik meliputi organisme yang memiliki pergerakan lemah dan tidak
mampu mempertahankan posisinya dari pergerakan arus air. Termasuk
didalamnya adalah plankton baik yang bersifat nabati (fitoplankton) maupun
hewani (zooplankton).
Organisme nektonik adalah organisme yang memiliki pergerakan yang kuat
dan mampu mempertahankan posisinya dari pengaruh arus. Kemampuan
pergerakan ini merupakan ciri khas organisme jenis ini sehingga organisme ini
dapat memperoleh makanannya dengan memangsa, menghindari pemangsaan,
serta menghindari kondisi lingkungan yang tidak cocok bagi kehidupannya.
Organisme nektonik sebagian besar terdiri dari ikan, reptil, dan invertebrate
cepalopoda. Sedangkan organisme bentik adalah organisme dengan
pergerakan yang sangat terbatas dan oleh karena itu organisme ini banyak
terdapat pada daerah bentik (dasar perairan). Organisme bentik umumnya dari
jenis organisme yang hidup menancap, membuat lubang (burrowing) atau
merayap didasar perairan. Beberapa contoh organisme menancap misalnya
lamun, karang, teritip, tiram dan remis. Contoh organisme pembuat lubang
antara lain cacing, kima, kerang, dan keong. Beberapa jenis crustacean seperti
udang dan kepiting merupakan organisme yang hidup merayap.
Pada ekosistem perairan organisme utama yang mampu memanfaatkan
energi cahaya adalah tumbuhan hijau terutama fitoplankton. Fitoplankton
merupakan organisme autotrop yaitu organisme yang mampu menghasilkan
bahan organik dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis dengan bantuan
cahaya. Sebagai organissme autotrop fitoplankton berperan sebagai produser
primer yang mampu mentransfer energi cahaya menjadi energi kimia berupa
bahan organik pada selnya yang dapat dimanfaatkan oleh organisme lain pada
tingkat tropis diatasnya. Fitoplankton merupakan produser terbesar pada
ekosistem laut. Pada ekosistem akuatik sebagian besar produktivitas primer
dilakukan oleh fitoplankton (Parsons dkk, 1984). Steeman-Nielsen (1975)
menyatakan bahwa kurang lebih 95% produksi primer di laut berasal dari
fitoplankton.
 
Sebagai produser primer, fitoplankton menduduki tingkatan terbawah
pada piramida makanan (Gambar 14), artinya fitoplanktonlah yang mendukung
seluruh kehidupan di laut. Dengan kata lain fitoplankton menduduki tropik level
paling randah dan berperan mentranfer energi matahari dan mendistribusikan
energi tersebut pada organisme laut melaui rantai makanan. Apabila dilihat
bentuk piramida makanan maka bisa diartikan bahwa semakin ke atas ukuran
individu bertambah sedangkan jumlah individu menurun. Sebaliknya jumlah
fitoplankton jauh lebih besar dibanding zooplankton dan ikan tetapi ukurannya
jauh lebih kecil.
Bahan organic hasil proses footsintesis dapat dimanfaatkan oleh
zooplankton yang menduduki tropic level kedua pada piramida makanan. Pada
tingkat tropik ini zooplankton berperan sebagai organisme herbivora atau
konsumer primer. Sebagian besar zooplankton memakan fitoplankton atau
detritus dan memiliki eran penting dalam dalam rantai makanan pada ekosistem
perairan. Beberapa spesies memperoleh makanan melalui uptake langsung
dari bahan organik yang terlarut. Zooplankton pada dasarnya mengumpulkan
makanan melalui mekanisme feelter feeding atau raptorial feedeng.
Zooplankton filter feeder menyaring seluruh makanan yang melewati ’mulutnya’
sedangkan pada raptorial feeder sebagian makanannya dikeluarkan kembali.
Proses saling memangsa antar satu dengan yang lainnya disebut rantai
makanan (food chain) sedangkan rangkaian rantai makanan disebut jaring
makanan (food web). Pada rantai makanan maupun pada jaring makanan
fitoplankton menempati tempat yang terendah sebagai produser primer. Rantai
 makanan grazing di laut dimulai dari fitoplankton sebagai produser dan
zooplankton sebagai konsumer (grazer). Apabila terjadi kematian baik
fitoplankton maupun zooplankton maka akan menjadi mata rantai pertama
dalam rantai makan detritus (detritus food chain). Kedua rantai makanan
tersebut menjadi siklus dasar dalam produksi di laut .
 
IV. KESIMPULAN
1. Hampir seluruh produksi primer di laut (95%) berasal dari
fitoplankton.
2. Fitoplankton merupakan organisme flora yang mampu menangkap
energi matahari dan memanfaatkan nutrien yang tersedia untuk
dirubahnya menjadi sumber energi bagi kehidupan di laut.
3. Plankton memiliki peran besar dalam proses produksi di laut
sebagai mata rantai pertama dalam rantai makanan (food chain) di
laut.
4. Melalui rantai makanan grazing, zooplankton merupakan mata
rantai penyambung siklus makanan bagi kehidupan di laut.
                                                                                                              
Sumber SUNARTO UNPAD 2008

MK. PENGANTAR BUDIDAYA PERIKANAN ANGKATAN 2011 (Ir. Arif Tribina)

Mengenal Ikan Sidat
 
Ikan sidat adalah ikan yang menyerupai ikan belut. Sidat mempunyai bentuk yang memanjang seperti ular, tidak mempunyai sirip perut dan punggung tidak berduri. Sisik pada ikan sidat berbentuk kecil membujur. Sirip dada sempurna, mata tertutup oleh kulit. Lubang hidung terletak di muka mata, mulut agak miring dan sampai melewati mata. Yang membedakannya dengan ikan belut, yaitu keberadaan sirip dada yang relatif kecil dan terletak tepat di belakang kepala sehingga mirip seperti daun telinga sehingga ikan sidat disebut juga sebagai belut bertelinga. Menurut Nelson (1994) ikan sidat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Neopterygii
Division : Teleostei
Ordo : Anguilliformes
Famili : Anguillidae
Genus : Anguilla
Species : Anguilla spp
Panjang tubuh ikan sidat bervariasi tergantung jenisnya yaitu antara 50-125 cm. Bentuk tubuh
yang memanjang seperti ular memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara celah-celah
sempit dan lubang di dasar perairan. Ketiga siripnya yang meliputi sirip punggung, sirip dubur
dan sirip ekor menyatu. Terdapat sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi lateral.
Perbedaan diantara jenis ikan sidat dapat dilihat antara lain dari perbandingan antara panjang
preanal (sebelum sirip dubur) dan predorsal (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada
rahang atas, bentuk kepala dan jumlah tulang belakang.
Sidat merupakan ikan yang tinggal di dasar perairan. Jenis-jenis ikan tersebut menyebar di
daerah-daerah yang berbatasan dengan laut dalam. Di perairan daratan (inland water) ikan
sidat hidup di perairan estuaria (laguna) dan perairan tawar (sungai, rawa dan danau) dataran
rendah hingga dataran tinggi. Jenis ikan sidat yang terdapat di perairan Indonesia paling sedikit
memiliki enam jenis ikan sidat yakni: Anguilla mormorata, Anguilla celebensis, Anguilla
ancentralis, Anguilla borneensis, Anguilla bicolor bicolor dan Anguilla bicolor pacifica. Ikan sidat
banyak ditemukan di daerah-daerah yang berbatasan dengan laut dalam seperti pantai selatan
Pulau Jawa, pantai barat Sumatera, pantai timur Kalimantan, pantai Sulawesi, pantai kepulauan
Maluku dan Irian Barat.
 
 
Menurut Facey dan Avle (1987) dalam Ndobe (1994), tahap-tahap siklus hidup ikan sidat yang
dikenal dengan beberapa nama umum yaitu : larva (leptocephalus), sidat kaca (glass eel),
elver, sidat kuning (yellow eel) dan sidat perak (silver eel). Ikan sidat termasuk katadromous,
aktif mencari makan di malam hari (nocturnal) dan hidup di perairan tawar kemudian bermigrasi
(ruaya) ke laut dalam untuk melakukan pemijahan.
Ikan sidat di alam hidup bergerombol dan cenderung berada di dasar perairan. Post larva ikan
sidat cenderung sebagai penghuni dasar perairan dan bersembunyi di dalam lubang,
terowongan, potongan-potongan tanaman atau substrat lain sebagai pelindung (Facey dan
Avyle, 1987 dalam Sholeh, 2004). Tingkah laku ini mencerminkan kebiasaan makan, strategi
dalam menghindari predator dan pengaruh penangkapan.
Ikan sidat adalah jenis ikan yang tidak menyukai cahaya kuat dan merupakan ikan dasar yang
suka bernaung khususnya pada waktu siang hari ketika cahaya matahari menembus sampai ke
dasar sungai. Menurut Usui, (1974) dalam Sholeh, (2004), sidat aktif berenang pada malam
hari tetapi ketika siang hari sidat akan bersembunyi di bawah onggokan tanah atau di bawah
bebatuan.
Ikan sidat memiliki kandungan vitamin yang tinggi. Hati ikan sidat memiliki 15.000 IU/100 gram
kandungan vitamin A. Lebih tinggi dari kandungan vitamin A mentega yang hanya mencapai
1.900 IU/100 gram. Bahkan kandungan DHA ikan sidat 1.337 mg/100 gram mengalahkan ikan
salmon yang hanya tercatat 820 mg/100 gram atau tenggiri 748 mg/100 gram. Sementara
kandungan EPA ikan sidat mencapai 742 mg/100 gram, jauh di atas ikan salmon yang hanya
492 mg/100 gram dan tenggiri yang hanya 409 mg/100 gram.
Perkembangan budidaya Sidat di Indonesia masih mengalami banyak kendala. Hal ini
disebabkan karena sulitnya mendapatkan benih ikan sidat. Pembudidayaan ikan sidat di
beberapa daerah masih mengandalkan benih dari alam sehingga pembudidayaannya sangat
bergantung pada ketersediaan benih yang ada di alam.
Secara nasional perkembangan budidaya ikan sidat hanya terdapat di beberapa provinsi saja.
Berdasarkan data statistic perikanan budidaya hanya daerah pulau jawa saja yang
mengembangkan budidaya ikan sidat. Itu pun tidak semua provinsi. Data terakhir menunjukkan
Jawa Timur sebagai penghasil ikan sidat terbesar di Indonesia dengan total produksinya pada
tahun 2009 sebesar 1.308 ton. Melihat potensi yang sangat besar seharusnya budidaya sidat
dapat berkembang dengan baik. Apalagi beberapa Negara seperti Jepang, Hongkong, Belanda,
Jerman, Italia dan beberapa negara lain sangat menyukai ikan belut bertelinga ini. Harganya di
pasaran dapat mencapai sebesar Rp. 100.000 – Rp. 300.000.
Agar budidaya sidat dapat berhasil ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
membudidayakan ikan sidat antara lain, yaitu :
 
1. Suhu. Pada pemeliharaan benih Ikan Sidat lokal, A. bicolor bicolor, suhu terbaik untuk
memacu pertumbuhan adalah 29°C.
2. Salinitas. Pada pemeliharaan Ikan Sidat lokal, A. bicolor bicolor (elver), salinitas yang
dapat memberikan pertumbuhan yang baik adalah 6 – 7 ppt.
3. Oksigen Terlarut. Kandungan oksigen minimal yang dapat ditolelir oleh Ikan Sidat
berkisar antara 0,5 – 2,5 ppm.
4. pH. pH optimal untuk pertumbuhan Ikan Sidat adalah 7 – 8.
5. Amonia (N H3- N) dan Nitrit (NO2-N). Pada konsentrasi amonia 20 ppm sebagian Ikan
Sidat yang dipelihara mengalami methemoglobinemie dan pada konsentrasi 30 – 40 ppm
seluruh Ikan Sidat mengalami methemoglobinemie.
6. Kebutuhan nutrient. Seperti halnya jenis ikan-ikan lain, Ikan Sidat membutuhkan zat
gizi berupa protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Kadar protein pakan optimal
adalah 45% untuk ikan bestir (juvenil) dan sekitar 50% untuk ikan kecil (fingerling).
 

Materi kuliah angkatan 2011 & 2009 (Arif tribina) APLIKASI PENGGUNAAN PAKAN BERKROMIUM (Cr+³) ORGANIK DALAM BUDIDAYA LELE DUMBO (Clarias gariepinus, Burch) “SANGKURIANG”

Kromium trivalen (Cr+3) merupakan logam dari kelompok mikromineral yang telah diakui bersifat esensial baik untuk manusia, ruminansia, dan non-ruminansia termasuk ikan.  Hasil riset terdahulu menunjukkan bahwa kromium trivalen (Cr+3) organik terbukti mampu meningkatkan pemanfaatan protein pakan untuk dideposisi dalam tubuh ikan gurami (Osphronemus gouramy, Lac.) maupun nila gift (Oreochromus niloticus) melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi metabolisme.  Riset kali ini bertujuan untuk mengkaji peran kromium organik terhadap efisiensi pemanfaatan karbohidrat-protein pakan oleh lele dumbo ‘sangkuriang’, yang dapat diindikasikan dari pola glukosa darah post prandial dan pertumbuhannya.  Riset ini memiliki 5 perlakuan pakan dengan kadar kromium organik masing-masing sebesar 0 (kontrol), 1.5, 3.0, 4.5, dan 6.0 ppm Cr+3.  Variabel yang diukur meliputi variabel hematologis, yaitu kadar glukosa darah post prandial; dan variabel bio-fisiologis, seperti laju pertumbuhan, FCR, dan retensi makro-nutrien. Hasil riset memperlihatkan adanya respons positif dari kromium terhadap parameter hematologis. Glukosa darah post prandial pada kelompok ikan yang mengkonsumsi kromium terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, dan cenderung lebih rendah pada kondisi puasa. Kadar glukosa darah pada puncak tertinggi ditunjukkan pada ikan yang mengkonsumsi kromium 6.0 ppm Cr+3, yang terjadi pada jam ke-3 post prandial. Berdasarkan pada hasil pengukuran berbagai parameter bio-fisiologis menunjukkan bahwa lele dumbo yang mengkonsumsi kromium organik cenderung memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan ikan yang mengkonsumsi kromium organik 3.0 ppm Cr+3 cenderung menunjukkan nilai yang paling baik.  Beberapa parameter lainnya seperti FCR, retensi protein, dan PER menunjukkan nilai yang cenderung semakin baik sejalan dengan peningkatan kadar kromium dalam pakan hingga 6.0 ppm Cr+3. Meskipun demikian, secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan antar perlakuan (p>0.05) terhadap berbagai parameter bio-fisiologis di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suplementasi kromium (Cr+3) organik dengan kadar 3.0 – 6.0 ppm Cr+3 diperlukan pada pakan selama periode pemeliharaan lele dumbo ‘sangkuriang’ agar diperoleh performa hematologis maupun bio-fisiologis ikan yang lebih baik. 
Riset tahap selanjutnya bertujuan untuk mengkaji respons lele dumbo atas frekuensi pemberian pakan yang mengandung kromium organik sebesar 6 ppm Cr+3 terhadap efisiensi pemanfaatan pakan dan pertumbuhan. Riset pada tahap ini memiliki 5 perlakuan frekuensi pemberian pakan, yaitu masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 kali sehari.  Hasil terbaik dari riset ini dijadikan acuan untuk pelaksanaan riset tahap selanjutnya dengan tingkat kepadatan yang berbeda, yaitu 100, 200, dan 300 ekor/m2. Variabel yang diukur meliputi indikator bio-fisiologis, seperti efisiensi pemanfaatan pakan, laju pertumbuhan, dan retensi makro-nutrien; dan indikator hematologis, yaitu kadar glukosa darah post prandial. Berdasarkan pada hasil pengukuran terhadap berbagai indikator bio-fisiologis menunjukkan bahwa lele dumbo yang mengkonsumsi pakan perlakuan dengan frekuensi 2 kali sehari dan dengan kepadatan 200 ekor/m2 cenderung memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.  Nilai efisiensi pemanfaatan pakan dari perlakuan tersebut adalah sebesar 1.155 hingga 1.291.  Perlakuan frekuensi pemberian pakan 1 hingga 2 kali menghasilkan respons pemanfaatan protein untuk menjadi protein daging ikan yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Terdapat respons positif dari frekwensi pemberian pakan mengandung kromium organik terhadap indikator hematologis.  Glukosa darah post prandial pada kelompok ikan yang mengkonsumsi pakan perlakuan dengan frekwensi 2 kali sehari terlihat memilki pola yang lebih ideal dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Titik puncak pada pola glukosa darah ikan yang mengkonsumsi pakan dengan frekuensi 2 kali sehari terjadi pada jam ke-2 post prandial.  Berdasarkan pada hasil riset tersebut di atas disarankan untuk memelihara lele dumbo ‘sangkuriang’ pada kepadatan 200 ekor/m2 serta memberi pakan berkromium organik dengan kandungan sebesar 6.0 ppm Cr+3 dan dengan frekwensi pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari agar diperoleh nilai bio-fisiologis terbaik. 
 
 
 

Sabtu, 12 November 2011

MK. REKAYASA BUDIDAYA ANGKATAN 2009 (Ir Arif Tribina)

Bioflok sebagai Salah Satu Alternative Budidaya

Tantangan yang dihadapi oleh para budidaya adalah :
1.Terus menurunkan biaya pakan, karena pakan mempresentasikan biaya operasional terbesar dalam budidaya intensif( biasanya 50%)
  1. Meningkatkan efisiensi konversi pakan
  2. Meminimalkan pengaruh negatif terhadap lingkungan

Pakan biasanya dipandang sebagai sumber polutan terbesar dalam budidaya, karena ikan atau udang hanya mampu memanfaatkan protein pakan sekitar 25%, sehingga dibutuhkan protein tinggi untuk mengkompensasi pemanfaatan protein yang rendah tsb. Pakan formulasi seringkali hanya ditujukan untuk kepentingan hewan target (ikan atau udang yang dipelihara), satu factor yang sering diabaikan adalah kontribusi nutrisional terhadap lingkungan. Di sistem air deras, kontribusinya mungkin dapat diabaikan. Tetapi disistem intensif dengan sedikit atau tanpa ganti air dan bermuatan organic yang berat, seperti petak udang atau ikan nila, pengaruhnya sangat substansial. Oleh karena itu, masalah yang sering muncul berhubungan dengan intensifikasi budidaya adalah akumulasi ammonia di air sebagai produk akhir metabolisme yang utama dari katabolisme protein/de-aminasi protein.

Intensifikasi budidaya dalam sejarahnya mengandalkan banyak ganti air untuk membuang kotoran-kotoran dan mempertahankan kualitas air. Namun seiring meningkatnya tuntutan perlindungan perairan, larangan pembuangan limbah dan kebutuhan biosecurity, sekarang ini membatasi system flow-through/banyak ganti air tsb

Suatu alternative treatment limbah adalah mengintensifkan prosesing microbial terhadap limbah untuk memudahkan mencapai panen yang tinggi dengan sedikit atau tanpa ganti air.
Konsep bioflok sangat sederhana : limbah nitrogen yang berpotensial racun diubah menjadi protein bakteri, yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh udang.. dengan demikian udang dapat memanfaatkan protein ganda dari protein pakan dan protein mikroba, yang sebenarnya merupakan suatu recycling protein pakan yang tak termanfaatkan.

Dalam sistem bioflok memerlukan pengaerasian dan pengadukan kuat untuk terus menjaga suspensi limbah organic di kolom air untuk dicerna oleh bakteri. Bakteri heterotrof aerobic mengkolonisasi partikel limbah organic dan menyerap nitrogen, pospor dan nutrient lain dari air. Proses ini memperbaiki kualitas air dan merecycling limbah karena detritus diperkaya secara bacterial. Partikel floc digumpalkan dengan polisakarida yang dihasilkan bakteri. Bahan-bahan tersuspensi diserap diatas flok bakteri yang terhidrolisa oleh enzim ekstraselular bakteri. Dengan demikian bioflok dalam kolom air tsb merupakan biofilter in situ, tak ada filtrasi eksternal dan dibutuhkan sedikit atau bahkan tanpa pembuangan padatan.
Dengan demikian, sistem bioflocs mampu menjawab tantangan yang dihadapi para praktisi budidaya.

2. Bagaimana membentuk Bioflok?
Aerasi & Pengadukan
Di system budidaya, kandungan oksigen di air lebih dipengaruhi oleh aktifitas alga dan bakteri daripada species budidaya. Karena dalam sistem ini petambak menurunkan atau tanpa ganti air, akibatnya terjadi akumulasi suspensi bahan organic dan bakteri yang lebih tinggi di kolam. Sebagai akibatnya, BOD meningkat dan oleh karena itu laju aerasi harus ditingkatkan.
Di samping untuk oksigenasi, aerator harus mampu menciptakan pengadukan yang cukup untuk mencegah zone sedimentasi kotoran anaerob Sedimen anaerobic akan menghasilkan produk buangan toksik seperti nitrit dan H2S. Apalagi untuk system air laut, dimana kelimpahan sulfat mendukung produksi H2S dibawah kondisi anaerobik.

Rasio C:N
Bakteri heterotrof mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk mensintesa protein dari karbon organic dan ammonia. Oleh karena itu, sangat krusial bahwa C:N harus sesuai untuk pemanfaatan bakteri. Biasanya pakan regular untuk udang berprotein tinggi setidaknya 35% dengan C:N rasio rendah sekitar 9:1, sementara bakteri membutuhkan 20 unit karbon per unit nitrogen yang diasimilasikan. C:N rasio bisa ditingkatkan dengan memberikan pakan berprotein rendah (prosentase karbohidrat tinggi) atau dengan penambahan sumber karbohidrat seperti tetes. Oleh karena itu salah satu tantangan dalam sistem ini adalah mendesain pakan yang bisa dimanfaatkan oleh organisme budidaya (udang) dan juga oleh komunitas mikrobial.
C:N rasio di bakteri hanya 4-5, tetapi hanya mengasimilasi 40% sehingga memerlukan rasio C:N > 12.5 Lebih baik jika rasio C:N rasio meningkat hingga 15-25:1 (= level protein < 25%)

Pergantian Air Minim
Selama budidaya hanya dilakukan penambahan air sebagai akibat dari penguapan dan siphon pembuangan lumpur dasar. Karena pergantian air yang sangat minim tsb, maka diupayakan kolam harus kedap air, kolam lapis plastik atau semen.

Kepadatan relatif tinggi
Padat tebar tinggi (> 100 ekor/m2) memungkinkan input organik yang relatif lebih tinggi untuk pakan udang maupun populasi bakteri, sehingga menghasilkan biomass udang yang tinggi juga. Biomass udang yang lebih tinggi, aktifitas udang akan mengaduk dasar tambak yang menyebabkan lebih banyak ss sehingga kondisi dasar juga lebih bersih.

Berdasar pengalaman penulis, pembentukan bioflok di bak-bak kecil indoor atau di race way indoor/outdoor jauh lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan di kolam
Beberapa faktor yang berpengaruh adalah :
  1. pengaerasian dan pengadukan relatif lebih merata/homogen, tak ada titik mati di bak sehingga semua kolom air dan dasar bak teraerasi. Pengaerasian dan pengadukan tsb sangat krusial dalam sistem ini. Sementara di sistem kolam komersial sangat sulit mengupayakan hal tsb.
  2. intensitas matahari lebih terbatasi sehingga memungkinkan terjadi pergeseran dari komunitas alga ke komunitas bakteri lebih cepat. Ini sangat penting karena kita berbudidaya di daerah tropis, dimana cahaya matahari berlimpah sepanjang tahun. Kondisi ini (pergeseran komunitas yang lebih cepat) akan mempercepat terciptanya kestabilan kualitas air sehingga udang lebih nyaman untuk hidup.
  3. kondisi kolom air dan dasar bak yang selalu terjaga aerobik mampu meminimalisir munculnya senyawa sulfida dan akumulasi sedimentasi dasar.
  4. lebih mudah manajemen bak kecil, termasuk adjusting C/N rasio.

Tampaknya, hal utama dan pertama yang harus diperhatikan dalam sistem ini adalah sistem pengaerasian dan pengadukan yang pas sehingga diupayakan semua kolom air dan dasar kolam teraerasi. Hal ini tentunya didukung oleh jenis, jumlah dan posisi /arah kincir yang tepat sesuai dengan bentuk kolam. Posisi kincir, jumlah kincir, jenis dan daya pengoperasiannya ditentukan berdasar efek-efek yang ditimbulkannya. Dengan demikian, fungsi kincir tak hanya terbatas untuk suplai oksigen semata, namun juga harus mampu menggerakkan air secara efisien dan menopang semua suspensi dalam kolom air. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang jenis kincir dan kemampuannya untuk menciptakan arus air di kolam sehingga mengarah ke berbagai pengupayaan kesempurnaan arus dan gerakan air seperti pengkombinasian jenis kincir dengan sirkulator air, yang didesain bukan untuk menambah oksigen semata.

Penting juga diperhatikan bahwa dalam pembentukan bioflok di kolam komersial, adalah harus didesain dari awal, karena sedini mungkin diupayakan terjadi pergeseran komunitas dari dominansi autotrof ke heterotrof. Biasanya, apabila tak disetting dari awal, sistem autotrof sudah sedemikian kuat, plankton sudah blooming dan sangat sulit untuk menggesernya. Pergeseran komunitas di pertengahan budidaya tampaknya juga berresiko menyebabkan udang stress dan membuat udang tak nyaman. Dalam kondisi tsb, udang lebih rentan terserang penyakit.
T
 
 
 
 

MK EKOLOGI ANGKATAN 2011 (Ir Arif Tribina)

Pembentukan Warna Laut
 
Pada prinsipnya warna laut ditentukan oleh interaksi dari insiden cahaya dengan
substansi atau partikel yang ada di dalam air. Komponen-komponen penyebab ekstingsi
cahaya, seperti disebutkan di atas, juga menjadi penyebab terjadinya warna laut.
Spektrum cahaya yang memasuki air akan di absopsi dan direfleksi. Absopsi terhadap
cahaya dilakukan oleh molekul-molekul air sendiri dan oleh bahan-bahan yang
terkandung didalamnya seperti bahan terlarut dan bahan tersuspensi terutama plankton.
Cahaya yang diserap/diabsopsi akan dirubah menjadi energi bahang. Cahaya yang
diabsopsi energinya berkurang dan daya tembusnya menurun secara gradual berdasarkan
kedalaman. Cahaya juga akan direfleksikan kembali apabila memasuki air. Refleksi pada
perairan alami sangatlah komplek dan refleksi kompleks kesegala arah dikenal dengan
istilah scattering. Spektrum warna cahaya matahari yang direfleksikan akan memberi
warna dari air itu sendiri. Warna yang diserap tidak akan tampak pada air sebaliknya
warna yang direfleksikan akan tampak.
Bahan-bahan pengeruh (turbidity substance) memiliki distribusi tidak merata secara
horizontal. Pada daerah pantai dan muara sungai tingkat kekeruhannya relatif lebih
tinggi daripada laut terbuka. Hal ini disebabkan oleh masuknya bahan-bahan terlarut
maupun tersuspensi dari daratan. Kekeruhan yang tinggi pada daerah pantai
mengakibatkan warna yang ditimbulkan adalah warna-warna dari spectrum cahaya yang
memiliki gelombang panjang. Pada laut terbuka umumnya kekeruhan rendah dan warna
laut yang mendominasi berasal dari spectrum warna biru yang memiliki gelombang
pendek yang sedikit diabsopsi dan lebih banyak di refleksikan. Penambahan kekeruhan
pada air yang jernih akan menggeser warna air dari spectrum warna biru dengan
gelombang pendek menjadi spectrum warna dengan panjang gelombang lebih tinggi.
Warna air laut akan berubah bila terjadi perubahan turbiditas/kekeruhan yang
diakibatkan oleh selective scattering, Natural absorptive colour, yellow substance dan
discoloring effect oleh materi tersuspensi.
Pada air laut yang jernih dimana tingkat kekeruhan rendah, maka spectrum cahaya
biru dengan gelombang yang pendek (pada = 0.477 m) akan menembus sampai
lapisan yang dalam. Dengan kata lain cahaya biru sedikit yang diabsopsi dan lebih
banyak yang di repleksikan, sehingga air yang kita lihat akan berwarna biru. Dalam hal
ini pengaruh selective scattering sangat dominan. Sebaliknya pada air dengan kekeruhan
rendah, warna biru akan banyak diabsopsi sehingga warna yang direpleksikan adalah
warna lain bergantung pada substansi kekeruhan yang ada. Pada kondisi demikian yang
faktor yang sangat penting adalah natural absorption color dan warna yang dihasilkan
bergeser dari biru menjadi biru-kehijauan (blue-green) dengan panjang gelombang lebih
besar dari 0.477 m. Bila kekeruhan meningkat maka panjang gelombang yang lebih
tinggi akan mewarnai perairan menjadi hijau atau hijau-kuning (green-yellow) dan faktor
yang dominan adalah yellow substance. Apabila tingkat kekeruhan lebih tinggi maka
materi tersuspensi akan menentukan warna air. Secara grafik faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan warna air dapat disajikan pada Gambar 4.
Apabila kekeruhan disebabkan oleh adanya materi tersuspensi seperti fitoplankton
maka fitoplankton akan menyerap banyak warna biru dan merah dan akan merefleksikan
warna hijau (Gambar 5), karena itu kita melihat air berwarna hijau. Pada daerah dengan
kepadatan fitoplankton atau konsentrasi klorofil yang tinggi akan memberikan warna air
yang berbeda dengan daerah dengan konsentrasi klorofil yang lebih rendah. Perbedaan
konsentrasi klorofil akan memberikan warna yang berbeda (Gambar 6). Dari Gambar 6
terlihat peningkatan konsentrasi akan mengakibatkan dua hal terjadi: pertama, puncaknya
bergeser dari biru tua (deep blue) menuju hijau dan kedua, tinggi dari puncak bertambah
dengan warna lebih cerah.
Sumber Pustaka : Hasil penelitian Sunarto, UNPAD 2008
Jelaskan :
1.      Pengaruh cahaya matahari terhadap mekanisme jaring makanan dalam ekosistim perairan.
2.      Adaptasi phytoplankton terhadap cahaya !